10 Tahun Bersama Lupus - Part 2
Januari 23, 2019
Sediakan keset kaki dan kain lap, gan.. ini cerita tersedih
abad ini. Halah! Lebaiii...
Berdua, tapi survive. Hasbunallah wanikmal wakil
Throw back 2008,
ketika dia datang tak diundang. (Baca : Lupus)
“Kaaaaaaaaaak….. kak ikaaaaaa…….”
Aku mendengar jeritan di tengah malam buta, dari kamar depan, bekas kamar tidur
almarhum emak ayah kami. Aku, ada di kamar belakang bersama bayi Syaffa Ammar
yang berusia sekitar 9 bulan kala itu.
Suamiku, masih bertugas di Pematang Siantar. Aku dan Fenty memang hidup bersama
di rumah peninggalan almarhum ayah, selepas keduanya meninggal dunia karena
Fenty belum menikah, tapi sudah bekerja di salah satu BUMN di Medan.
Aku bergegas ke kamar depan. Aku
dapati di menangis meraung raung, meringkuk, kesana kemari, memegang lututnya
yang katanya berdenyut, di tempat tidur berserakan rambutnya yang rontok dalam
jumlah banyak. Aku terkejut, tapi tak bisa berbuat apa apa.
Aku ambilkan air hangat ke dapur,
“minumlah, “kataku. Setelah dia meminumnya sambil meringis, aku bertanya, “kenapa
dek? Sakit?”
“Gak tau aku ni… udah berapa
malam ni kakikku bedenyut, gak tahan aku kak… Tengoklah kak, rontok rambut aku.
Kenapa aku ni kak……” katanya masih menangis.
Aku tercekat, sejak SMA, beberapa
kali menyaksikan tante tante adek mama kami, termasuk papa dan mama, meninggal
kanker, betapa ciri utama yang digambarkan mereka di detik detik akhir hidup
adalah rambut rontok luar biasa akibat menjalani proses kemoterapi. Ah, aku tak
mau suudzon. Tapi aku tau, sebulan
merawat almarhum papa di Rumah Sakit hingga meninggal, pasti juga membuat fenty
berprasangka aneh pada dirinya. Astaghfirullah…
Aku berusaha menenangkannya. “Tidurlah,
paksakan. Insyaallah besok pagi segar. Kalau nanti masih sakit, kita ke dokter
ya…”
Setelah itu, tak ada kejadian apa
apa lagi. Hari hari berjalan seperti biasa, Fenty tetap ngantor sebagaimana mestinya. Aku sibuk juga bekerja sambil ngurusin si kembar dibantu inang
pengasuh saat itu.
Hingga tiba suatu sore, security kantor menelepon dari pos satpam ke meja
kerjaku. “Kak, ada yang nyari, laki laki dua orang. Boleh kusuruh naik aja kak
jumpain kakak?”
“Darimana bang? tanyaku, aku
pikir ada ormas ngajuin proposal seperti biasanya. “Katanya dari Perum
Jamkrindo kak.” Degh! Aku berdebar gak karuan. Ada apa dengan Fenty, pikirku. “Suruh
naik aja bang, cepat ya. “ujarku.
Tak lama, keluar dari lift, dua
sahabat Fenty di kantornya, Deni dan Bang Andri.
“Assalamualaikum, kak Ika…” kata rangtu.
“Waalaikum salam, Bang, Den, duduk ya, mau minum apa?” tanyaku sambil
basa basi dengan berdebar. “Gosah
repot repot kak, kami sebentar kok.” kata Deni.
“Apa crita den? Kenapa
Fenty?” Todongku. Karena pasti takkan ada perihal lain yang mau dibicarakan
orang dua itu selain Fenty, soalnya kami tak pernah terlibat bisnis luar biasa
diluar sekedar terhubung karena mereka teman sekantor adekku.
“Gini kak, “ (Deni melirik Bang Andri, akhirnya Bang Andri mengambil
alih cerita)
“Kak, maaf sebelumnya ya. Kami gak bermaksud mencampuri. Kami hanya
peduli, karena Fenty kawan baik kami, rajin juga kerjanya. Tapi kak, akhir
akhir ini, dia kok kayaknya sakit ya kak. Lesunya parah, kami menduga dia
menyimpan sesuatu yang serius. Kalau lah kakak menerima usul kami, tolong la
bawa dia periksa serius kak, bila perlu ke Malaysia, biar jelas,”
Bang Andri berusaha menjelaskan dengan tenang.
Omakjang! Aku justru semakin panik. Aku kemana aja???? Adekku semata
wayang ada masalah, orang tua sudah gak ada, aku ngapain aja? Ya Allah.. berdosanyalaah sampai kawannya yang gak ada
hubungan darah begitu perduli, aku bahkan tak ada feeling apa apa?
Dengan rasa malu aku bilang, “Ya Allah bang, awak pikir gak ada
masalah dia. Beklah, nanti awak ajak
dia berobat. Makasih ya Bang, Den, udah perhatian dan mengingatkan…”
“Sama-sama kak..” Kata Deni.
Aku bergegas pulang, tak sabar mau cakap cakap sama Pentot, demikian panggilan sayangku
buatnya. Mendadak aku rindu kami jenjalan
bersama, makan makan, macam akhirnya terasa sepuluh abad sudah kami tak
cakap cakap. Malam itu kami tidur bersama, cerita cerita, tah soal apa aja sampai
dia tertidur pulas. Baru aku menyadari, berat badannya sepertinya semakin jauh
berkurang. Ya! Dia makin cungkring. Huft!
“Oh, ini DBD kok. Jangan khawatir.” Kata dokter itu membaca hasil
pemeriksaan laboratorium yang ada dihadapannya. Itu pendapat yang sama kesekian
kalinya dari dokter berbeda, laboratorium berbeda. Di kota Medan tercinta ini.
Kemarin sempat ada medical record nya mencatatkan
dia mengidap gejala Thypus dan disuruh bedrest.
Aku mulai merasa ada kejanggalan. Fenty mulai tak kuat ikut kemana mana,
kami tak lagi bisa hadir di pertemuan pertemuan keluarga, bahkan kami tak bisa
kemana mana di Hari Raya. Fenty hanya memaksakan diri pergi bekerja setiap hari
kemudian istirahat sepulangnya hingga keesokan harinya. Begitu terus setiap
hari.
Akhirnya, aku mengemasi pakaiannya, mencari informasi soal Rumah Sakit
di Malaysia, menghubungi kawan lama disana untuk pemesanan apartemen dekat
Rumah Sakit yang dituju, mencari tiket pesawat. Anak anak, dititip sama Opungnya di kampung. Alhamdulillah. Setelah beres semuanya, aku
menghadap pimpinan wilayah dikantorku untuk minta izin mendampingi adekku
berobat selama 14 hari. Allah Maha baik, Pak Bosku itu juga terkenal baik,
Alhamdulillah, permohonanku secara lisan, tanpa surat izin langsung dikabulkan
saat itu juga. (Makasih Pak, semoga Allah berikan kebaikan sepanjang masa pada
Bapak sekeluarga.)
Pada hari yang ditentukan kami berangkat ke Malaysia walau tak
berdaya. Tapi aku tahu kami pasti bisa.
Foto search by google
Keuangan menipis, kami pulang.
Kami mengikuti tahap demi tahap proses pemeriksaan laboratorium. Demi
menghemat biaya, aku berdiskusi pada dokternya untuk tidak opname di Rumah Sakit. Tanpa malu malu aku membeberkan jumlah uang
yang kami punya untuk bertahan hidup disana. Kala itu, Fenty baru menjadi
pegawai,belum menikah, sementara aku, belum pengangkatan pegawai tetap, hidup dua dapur, suami jauh di
kota lain, anak kembar masih butuh susu 25 kaleng sebulan karena sudah lepas
ASI sejak usia 8 bulan. Disaat bersamaan, kami sedang dalam keadaan membiayai nenek yang sudah stroke dan hidup bersama kami sejak
kedua orang tua kami meninggal dunia. Plus, kami masih harus menyelesaikan
utang piutang ratusan juta rupiah untuk membiayai pengobatan kedua orang tua
kami selama sakit. Kami berdua saling bahu membahu patungan menyelesaikannya. Capede… hahahaha.. tsurhat pulak.
Udah macam inang inang jualan monja awak yang nyarik duit sepulang kerja itu. Belum lagi ngamen jadi tukang mekap, sesekali merias pengantin, jualan aksesoris handmade, jualan jilbab, jualan baju, bikin hijab class, kadang ikutan sok jadi wedding organizer amatiran, setiap sabtu Minggu atau jika sedang cuti kerja. Apapun lah pokoknya... hahhahaa
Pokok cerita, dokter mengizinkan kami bolak balik saja ke RS tersebut.
Aku memutuskan menyewa apartemen murah di belakang gedung Rumah Sakit. Setiap
hari aku papah Fenty yang sudah oyong (pusing
keliyengan) untuk berangkat ke RS sambil jalan pelan pelan dengan memakai payung,
karena saat itu Malaysia panas sekali dan katanya kulitnya macam mau terbakar jika terkena sinar matahari. Sebelum sampai RS, biasanya kami sarapan nasi lemak dulu di
simpang jalan. Kenapa gak naik taksi aja? Karena duit cekak book. Kalau naik taksi menuju Rumah Sakit itu harus memutar arah dan tarifnya jadi mahal.
Begitulah terus kami menjalani pemeriksaan selama lebih 10 hari
disana. Sempat juga aku bawa dia jalan jalan ke mall besar di sana pada suatu
malam untuk menghilangkan suntuknya. Senang rasanya melihat dia bahagia bagai
orang yang sehat.
“Positif S.L.E. It’s called, Lupus, you know about that??” aku
bingung. Bukan gak paham bahasa Inggris, Cuma jarang dengar soal penyakit ini.
Keluarga kami banyak yang mengidap kanker. Tapi aku pernah dengar ada seorang wanita di
Indonesia yang kena Lupus, penyakit langka, namanya Mba Tiara, kalau tak salah
beliau kakaknya aktor Donny Damara. Itu aku pernah baca sekilas tapi abai. Sudahlah.
Akhirnya aku bertanya lebih lanjut soal ini. Dokter menawarkan tindakan biopsy untuk pengobatan lanjutan, tapi tarif
pengobatan itu bikin aku mau pengsan.
Fenty yang aku geletakkan di salah
satu bangku di sebuah ruangan kosong selama aku diskusi dengan dokter karena
lemas tak kuat duduk lama, tak tahu menahu. Dikasi tahu pun kalau memperparah
keadaan ngapain, bikin makin sakit.
Inilah pulak tugas orang sehat itu,
merawat yang sakit. Dan hak yang sakit pula mendapatkan kenyamanan dan perawatan.
Aku berusaha nawar. Dengan sopan aku tolak tindakan biopsy itu. “we don’t have enough money, doc, please.. we just
wanna go home.”
“okey, I kene tau, kamu punya
budget operasional besar sangat rawat kat sini . Ada docter best di Medan, dia
punya nama dr. Gyno tan, dia orang expert lupus, la. Kamu orang bisa cube jumpe
dia. Dia juga kena praktek di Singapore..so recommended .”
Hasbunallah Wanikmal Wakil, Allah sebaik baiknya penolong, pasti
punya solusi dari tiap masalah yang diberikannya.
“Tqu dokter. Terima kasih
banyak. Semoga dokter sehat selalu. Setidaknya walau belum menjalani
pengobatan, kami punya modal buat bergerak ke tindakan selanjutnya, di Medan
saja, kota kelahiran tempat kami berdua dibesarkan bersama.
Hari ke 14, kami pulang, dengan uang pas pasan beli air mineral aja di bandara.
Alhamdulillah tetap masih bisa pulang.
Syaffa Ammar, mama so miss u!
Catatan kecil:
Sekedar mengingatkan kembali saja beberapa hal terkait sakit atau merawat keluarga sakit :
Sekedar mengingatkan kembali saja beberapa hal terkait sakit atau merawat keluarga sakit :
- Tetap berserah pada Allah, yakinkan diri bahwa ini merupakan cara Allah memberikan ilmu tambahan. Dengan sakit dan penyakit, Allah mau lihat, seperti apa cara umatnya berkomunikasi denganNya. Keikhlasan, akan mempermudah mencari solusi.
- Jangan abaikan gejala, demam merupakan indikasi ada gangguan jadi tetap waspada menanganinya jangan sepele terhadap hal hal kecil sekalipun.
- Segera cari tau dan tindak lanjuti sebuah gejala, jangan puas dengan hasil pemeriksaan satu orang, upayakan untuk mencari second opinion karena beberapa gejala kadang tidak terlihat diawal.
- Latihlah pengasahan feeling. Duduk diam sejenak, dengarkan kata hati. Biasanya Allah memberikan petunjuk petunjuk kecil terhadap sebuah tindakan.
- Menurut saya, banyak penyakit bisa dideteksi melalui pemeriksaan darah. Maka, jangan menduga- duga, sebaiknya cari kepastian indikasi penyakit terlebih dahulu agar tahu pasti dan bisa mengambil ketegasan pengobatan apa yang akan dilalui untuk upaya penyembuhan disesuaikan dengan kondisi keuangan
- Mendengarkan pendapat orang lain boleh, tetapi sebaiknya melakukan proses pengobatan tidak setengah-setengah dan tidak campur aduk agar tidak terjadi kekacauan dalam tubuh pasien. Jangan semua mau diikuti tapi tak ada yang beres. Lakukan proses bertahap satu persatu.
- Setelah menetapkan komitmen pada satu proses penyembuhan, lakukan dengan disiplin, bekerjasamalah dengan lingkungan sekitar. Deklarasikan kondisi pasien, insyaallah semesta akan mendukung.
- Baca literature, agar sinkron pengobatannya. Be smart pasien.
- Fokus, jadikan penyakit ini bagian dari kehidupan. Anggap dia keluarga tambahan.
- Jangan panik, tetapi jangan juga putus asa.
To be continued ke part 3….
Goes to Dr. Gyno Tann. Harus!
Goes to Dr. Gyno Tann. Harus!
15 komentar
Terharu kak...
BalasHapusJadi inget sama kakak awak.
Aniwei, panggilan sayangnya bikin aq gagal fokess..
Tolong agak dikondisikan kak
Wkwkwk
hahahah cemanalaaaah ya
HapusLayak dibukukan
BalasHapuspendapatnya bikin ngerihhhh.. siapaalah yang mau jadi sponsor ya hahaha
Hapuspaham sih gmn riweuh dan subhanallah nya menjaga orang sakit. apalagi org tersebut orang tersayang dihidup kita. ah.....beneran lah hasbunallah wani'mal waqil ni'malmaula wani'mannasir dan lahaua walakuwwata illa billah jadi zikir andalan yang menemani. dan jadi zikir penenang disaat2 itu.
BalasHapusnice share kak.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusYa Allah.. kak.. keren ceritanya kayak candu gak cukup baca part 2 ini aja. akhirnya selesai ku baca sampe part 4. perjuangan kalian inspiratif kali..
BalasHapusinspiratif, kak....
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusSaya terharu
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusHAru biru bacanya. Agak iri karena ada pengalaman diri yg ga sempat kyk kakanda ☺
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapusya allah kak .sengaja aku gk baca lanjutannya biar penasaran dan gk mewek .. aq ngebayangin aq yg diposisi kaka.. riweh mumet tp gilak kali kaka ni tetap tenag dan kuat ya allah..semoga kak fenti selalu sehat..aamiin ya rabbal alamin
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus